Sekilas makanan ini tampak seperti tahu, sama-sama berwarna putih. Namun, makanan khas Kabupaten
Enrekang ini
terbuat dari fermentasi susu. Masyarakat menyebutnya dangke. Makanan
ini juga bertekstur kenyal. Selain susu sapi atau kerbau, bahan dasar
dangke lainnya adalah getah pepaya. Proses pembuatannya tidak terlalu
sulit. Salah satu pengusaha dangke di
Enrekang, Sunusi, menuturkan awalnya sapi perah yang susunya diambil untuk bahan dasar dangke dibersihkan dari kotoran.
“Setelah sapi selesai dimandikan, barulah dilakukan pemerasan,” kata
Sunusi. Air susu sapi kemudian disaring untuk memisahkan kotoran dengan
susu sebelum dilakukan fermentasi. Adapun getah pepaya muda digunakan
sebagai bahan campuran pembuat
dangke.
Air susu dimasak dengan suhu minimal 70 derajat Celsius, kemudian
dicampur getah pepaya. Getah ini untuk memisahkan lemak, protein, dan
air. Selain itu, getah pepaya berfungsi untuk memadatkan bahan susu.
Setelah lemak, protein, dan air dipisahkan, barulah dilakukan proses
mencetak. Alat yang digunakan untuk mencetak dangke juga menggunakan
alat tradisional, yakni tempurung kelapa.
Setelah dimasukkan ke dalam alat cetak, adonan dibiarkan hingga
dingin dan memadat. Maka, jadilah dangke. Makanan ini cukup sulit
didapatkan di luar
Enrekang. Tapi di Kabupaten
Enrekang, dangke menjadi makanan yang mudah ditemui. Namun demikian, pembeli biasanya memilih tempat produksi
dangke yang dianggap higienis. Pasalnya ada juga dangke yang rasanya agak kecut.
Popularitas dangke sebagai makanan khas di Kabupaten
Enrekang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten
Enrekang, Lateng, menuturkan bahwa
dangke sudah sampai Malaysia dan Jepang.
Dangke dapat bertahan hingga satu bulan. Biasanya, saat dangke dibawa
keluar daerah yang membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan beberapa
hari, dangke dibungkus dalam kemasan kedap udara. “Biasanya, jika dangke
dibawa ke tempat yang membutuhkan waktu lama,
dangke dipanaskan dan dimasukkan ke dalam lemari es,” ujar Sunusi.
Sandra, salah seorang warga
Enrekang yang tinggal di
Makassar, menuturkan setiap kali datang ke
Enrekang, ia pasti membeli
dangke. Pasalnya, makanan tersebut sudah menjadi makanan wajib. “Rasanya ada yang kurang kalau dari
Enrekang tidak membawa pulang dangke,” kata Sandra.
Dangke menjadi makanan khas yang tak terlupakan oleh warga
Enrekang. Meskipun telah meninggalkan daerah itu bertahun-tahun lamanya, saat pulang ke kampungnya, mereka pasti akan mencari
dangke.
Untuk mempromosikan dangke kepada pelanggan, sejumlah pembuat dangke
mulai membuka layanan pesan antar seperti yang dilakukan Sunusi.
“Usaha kami memang dalam bentuk
home industry,” katanya.
Sapi perah milik Sanusi yang menunjang bahan baku pembuatan dangke sudah
mencapai 25 ekor. Ia tercatat sebagai pengusaha
dangke tersukses di daerah itu.
Awalnya, menurut Sanusi, ia memulai usaha itu dengan seekor sapi.
“Itulah yang kemudian berkembang hingga saat ini,” ujarnya. Sunusi tidak
mengetahui persis kapan ia memulai usaha itu. “Yang jelas, sudah lebih
dari sepuluh tahun,” kata Sunusi.
Kini pegawai Dinas Peternakan Kabupaten
Enrekang itu
sudah mampu memproduksi 50 dangke setiap harinya. “Produksi dangke kami
dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore hari,” katanya.
Tiap satu dangke dijual dalam satu kemasan khusus. “Kami hanya menjual
Rp 12 ribu per paketnya,” kata Sunusi.
Selain itu,
dangke bisa diolah menjadi kerupuk yang diberi nama deppa dangke. Prosesnya adalah mencampur dangke dengan terigu dan gula.
Sumber : http://www.enrekang.info/2012/01/18/makanan-khas-dangke-enrekang/